Thursday, April 12, 2012

Shalawat Paling Afdhal

Membaca shalawat untuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah ibadah yang tidak bisa dipandang remeh. Ia adalah sebuah ibadah agung dan balasannya pun besar. Ia juga menjadi salah satu ciri kecintaan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sekaligus menjadi faktor dominan untuk menggapai syafaat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam di hari Kiamat kelak.

Perintah kepada umat Islam untuk membaca shalawat untuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam datang setelah Allâh Ta'ala memberitahukan bahwa Dia bershalawat bagi Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagaimana tertuang dalam firman Allâh Ta'ala berikut ini:



Sesungguhnya Allâh dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya
(QS. al-Ahzâb/33:56)

Ayat di atas tidak menegaskan satu bentuk teks shalawat tertentu untuk dibaca bila seorang Muslim hendak membaca shalawat untuk Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Namun demikian, terdapat pelajaran yang sangat berharga dari sebuah riwayat dalam Shahih al-Bukhâri no.2497 yang disampaikan oleh Sahabat yang bernama Ka’b bin Ujrah radhiyallâhu'anhu. Sahabat mulia ini menceritakan bahwa para Sahabat pernah menanyakan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tentang bagaimana bershalawat kepada beliau. Beliau menjawab: “Katakanlah:



Inilah kaifiyah bershalawat yang diajarkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam kepada para Sahabat radhiyallâhu'anhum sebagai jawaban atas pertanyaan mereka mengenai cara bershalawat untuk beliau. Maka pantas bila disebut sebagai lafazh paling afdhal dalam bershalawat.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan: “Apa yang diajarkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam kepada para Sahabat radhiyallâhu'anhum tentang kaifiyah ini (dalam membaca shalawat) setelah mereka menanyakannya, menjadi petunjuk bahwa itu adalah teks shalawat yang paling utama karena beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidaklah memilih bagi dirinya kecuali yang paling mulia dan paling sempurna.” (Fathul Bâri 11/66)

Untuk itu, akan lebih baik bila lafazh shalawat ini yang diamalkan dalam membaca shalawat untuk Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, bukan lafazh-lafazh shalawat susunan manusia, meskipun bukan larangan untuk menyusun bentuk teks shalawat sendiri. Shalawat-shalawat buatan manusia terkadang tidak bersih dari kekeliruan, baik dalam pemilihan bahasa, maupun –dan ini yang paling parah- kesalahan dalam akidah. Tentu sangat kontradiktif, saat seseorang membaca suatu teks shalawat yang bukan dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan berharap pahala dari Allâh Ta'ala dan syafaat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam di akherat, namun ia melakukannya dengan membaca sesuatu yang mengandung kesyirikan ataupun sanjungan yang sangat dibenci oleh beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Bukan pahala dan syafaat yang ia peroleh, sebaliknya kemurkaan yang akan menghampirinya.

Anehnya, sebagian masyarakat lebih condong mengamalkan shalawat-shalawat susunan selain yang disampaikan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan meyakini akan keutamaan dan khasiatnya, memperlakukannya seperti membaca teks dari wahyu dengan menjadikannya sebagai wirid rutin dan mengajak orang untuk mengamalkannya. Sehingga, apa yang disebut bid’ah (membuat perkara baru dalam agama) telah terjadi. Jelas ini sebuah kesalahan di atas kesalahan yang tidak boleh dibiarkan. Harus ada langkah nyata untuk mencerahkan umat dengan menyampaikan kepada mereka hal-hal yang benar-benar bersumber dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan menegaskan bahwa beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak menyukai perkara-perkara baru dalam agama.

Maka, menyebarkan ilmu syar’i yang berlandaskan al-Qur`ân dan Sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman Salafus Shaleh tidak boleh ditunda-tunda lagi. Wallâhul Muwaffiq.

Dipetik dari:http://majalah-assunnah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=184

0 comments:

Post a Comment

 

bicara ilmu88 © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates